oleh : Imran Nating, SH.
I. Mazhab Hukum Alam
Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup banyak
teori didalamnya. Berbagai anggapan dan pendapat yang dikelompokkan ke dalam hukum alam
bermunculan dari masa ke masa.
Mempelajari sejarah hukum alam, maka kita akan mengkaji sejarah manusia
yang berjuang untuk menemukan keadilan yang mutlak di dunia ini serta
kegagalan-kegagalannya. Pada suatu saat hukum alam muncul dengan kuatnya, pada
saat yang lain ia diabaikan, tetapi yang pasti hukum alam tidak pernah mati.
Hukum Alam adalah hukum yang normanya berasal dari Tuhan Yang Maha
Esa, dari alam semesta dan dari akal budi manusia, karenanya ia di gambarkan
sebagai hukum yang berlaku abadi.
Hukum alam dimaknai dalam berbagai arti oleh beberapa kalangan pada
masa yang berbeda. Berikut ini akan di paparkan pandangan hukum alam dari
Aristoteles, Thomas Aquinas, dan Hugo Grotius;
Aristoteles;
Aristoteles merupakan pemikir tentang hukum yang petama-tama membedakan
antara hukum alam dan hukum positip.
Hukum alam adalah suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena
hubungannya dengan aturan alam. Hukum itu tidak pernah berubah, tidak pernah
lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam dibedakan dengan hukum
positif, yang seluruhnya tergantung dari ketentuan manusia.
Hukum harus ditaati demi keadilan. Keadilan selain sebagai keutamaan umum
(hukum alam) juga keadilan sebagai
keutamaan moral khusus. Keadilan menentukan bagaimana hubungan yang baik antara
sesama manusia, yang meliputi keadilan dalam pembagian jabatan dan harta benda
publik, keadilan dalam transaksi jual beli, keadilan dalam hukum pidana,
keadilan dalam hukum privat.
Thomas aquinas;
Dalam membahas hukum Thomas
membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu dan hukum yang dijangkau akal
budi manusia. Hukum yang didapat wahyu disebut
hukum ilahi positif (ius divinum positivum). Hukum yang didapatkan
berdasarkan akal budi adalah ‘hukum alam’(ius naturale), hukum
bangsa-bangsa(ius gentium), dan hukum positif manusiawi (ius positivum
humanum).
Menurut Aquinas hukum alam itu agak umum, dan tidak jelas bagi setiap
orang, apa yang sesuai dengan hukum alam itu. Oleh karenanya perlu disusun
undang-undang negara yang lebih kongkret mengatur hidup bersama. Inilah hukum
posisif. Jika hukum positif bertentangan dengan hukum alam maka hukum alam yang
menang dan hukum positif kehilangan kekuatannya. Ini berarti bahwa hukum alam
memiliki kekuatan hukum yang sungguh-sungguh. Hukum positif hanya berlaku jika
berasal dari hukum alam. Hukum yang tidak adil dan tidak dapat diterima akal,
yang bertentangan dengan norma alam, tidak dapat disebut sebagai hukum, tetapi
hukum yang menyimpang
Hugo grotius;
Grotius adalah penganut humanisme, yang mencari dasar baru bagi hukum alam
dalam diri manusia sendiri. Manusia memiliki kemampuan untuk mengerti
segala-galanya secara rasional melalui pemikirannya menurut hukum-hukum
matematika. Manusia dapat menyusun daftar hukum alam dengan menggunakan
prinsip-prinsip a priori yang dapat diterima secara umum. Hukum alam tersebut
oleh Grotius dipandang sebagai hukum yang berlaku secara real sama seperti
hukum positif.
Hukum alam tetap berlaku, juga seandainya Allah tidak ada. Sebabnya adalah
bahwa hukum alam itu termasuk akal budi manusia sebagai bagian dari hakekatnya.
Dilain pihak Grotius tetap mengaku, bahwa Allah adalah pencipta alam semesta.
Oleh karena itu secara tidak langsung Allah tetap merupakan pundamen hukum
alam. Hak-hak alam yang ada pada manusia adalah;
n
hak untuk berkuasa atas diri
sendiri, yakni hak atas kebebasan.
n
hak untuk berkuasa atas orang
lain
n
hak untuk berkuasa sebagai
majikan
n
hak untuk berkuasa atas milik
dan barang-barang.
Grotius juga memberikan prinsip yang menjadi
tiang dari seluruh sistem hukum alam yakni:
n
prinsip kupunya dan kau punya.
Milik orang lain harus dijaga
n
prinsip kesetiaan pada janji
n
prinsip ganti rugi
n
prinsip perlunya hukuman
karena pelanggaran atas hukum alam.
Sebagaimana telah di utarakan di muka, hukum
alam ini selalu dapat dikenali sepanjang abad-abad sejarah manusia, oleh karena
ia merupakan usaha manusia untuk menemukan hukum dan keadilan yang ideal.
II. Mazhab Formalistis
Hukum dan moral merupakan dua bidang terpisah dan harus dipisahkan.
Salah satu cabang dari aliran yang menganut pendapat diatas adalah mazhab
formalistik yang teorinya lebih dikenal dengan nama analytical jurisprudence.
Diantara tokoh terkemuka dari mazhab ini adalah John Austin dan Hans Kelsen.
John Austin;
Austin mendefenisikan hukum sebagai;
“Peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan
kepada mahluk yang berakal oleh mahluk yang berkuasa atasnya”.
Hukum merupakan perintah dari yang mereka yang memegang kekuasaan
tertinggi, atau dari yang memegang kedaulatan. Austin menganggap hukum sebagai
suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup.
Hukum yang sebenarnya mengandung 4 unsur menurut Austin:
1. Perintah
2. Sanksi (sesuatu yang buruk melekat pada perintah)
3. Kewajiban
4. Kedaulatan.
Ajaran Austin sama sekali tidak menyangkut kebaikan-kebaikan atau
keburukan-keburukan hukum, oleh karena penilaian tersebut dianggapnya sebagai
persoalan yang berbeda di luar hukum. Walaupun Austin mengakui hukum Alam atau
moral yang mempengaruhi warga masyarakat, tetapi itu tidak penting bagi hukum.
Hans Kelsen;
Adalah tokoh mazhab Formalistis yang terkenal dengan teori murni tentang
hukum (pure Thory of law).
Sistem hukum adalah suatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah, dimana
suatu kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang
lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem pertanggapan
adalah kaidah dasar atau Grundnorm. Grundnorm ini semacam bensin yang
menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum
harus di patuhi.
Proses konkretisasi setapak demi setapak mulai dari grundnorm hingga
penerapannya pada situasi tertentu. Proses ini melahirkan Stufenbau theori.
Menurut Kelsen dalam ajaran hukum murninya, hukum tidak boleh dicampuri
oleh masalah-masalah politik, kesusilaan, sejarah, kemasyarakatan dan etika.
Juga tak boleh di campuri oleh masalah keadilan. Keadailan menurut Kelsen
adalah masalah ilmu politik.
III. MAZHAB KEBUDAYAAN DAN SEJARAH
Mazhab hukum historis lahir pada awal aabad XIX, yakni pada tahun 1814,
dengan diterbitkannya suatu karangan dari F. Von Savigny, yang berjudul: ‘Vom
Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenchaft’ (tentang seruan Zaman
kini akan undang-undang dan ilmu hukum). Tokoh mazhab ini ialah F. Von Savigny
dan Sir Henry Maine
Friedrich Carl Von Savigny;
Menurut Savigny hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama
suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, dan tatanegara. Oleh karena itu
hukum merupakan sesuatu yang bersifat supra-individual, suatu gejala
masyarakat.
Pada permulaan, waktu kebudayaan bangsa-bangsa masih bertaraf rendah, hukum
timbul secarah spontan dengan tidak sadar dalam jiwa warga bangsa. Kemudian
sesudah kebudayaan berkembang, semua fungsi masyarakat dipercayakan pada suatu
golongan tertentu. Demikianlah pengolahan hukum dipercayakan kepada kepada kaum
yuris sebagai ahli-ahli bidangnya.
Hakikat dari sistem hukum menurut Savigny adalah sebagai pencerminan jiwa
rakyat yang mengembangkan hukum itu. Semua hukum berasal dari adat istiadat dan
kepercayaan dan bukan berasal dari pembentuk undang-undang.
Sir Henry Maine;
Aliran sejarah telah membuka jalan bagi perhatian yang lebih besar terhadap
sejarah dari suatu tata hukum dan dengan demikian mengembangkan pengertian,
bahwa hukum itu merupakan suatu unikum. Keadaan yang demikian ini menyuburkan
dilakukannya penelitian-penelitian serta karya-karya yang bersifat
anthropologis. Maine dianggap sebagai yang pertama-tama melahirkan karya yang
demikan.
Maine mengatakan masyarakat ada yang “statis” dan ada yang “progresip”.
Masyarakat progresip adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui tiga cara,
yaitu: fiksi, equity dan perundang-undangan. Perubahan masyarakat tidak selalu
menuju kepada yang lebih baik. Perjalanan masyarakat menjadi proresip, disitu
terlihat adanya perkembangan dari suatu situasi yang ditentukan oleh status kepada penggunaan kontrak.
IV. MAZHAP UTILITARIANISM
Pada mazhap ini tokohnya adalah
Jeremy Bentham dan Rudolph Von Jhering.
Jeremy Bentham;
Bentham adalah pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan dan
untuk merombak hukum Inggris yang baginya merupakan suatu yang kacau.
Sumbangan terbesarnya terletak dalam bidang kejahatan dan pemidanaan.
Dalilnya adalah, bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian
rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan
yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Standar
penilaian yang di pakai adalah “apakah suatu tindakan menghasilkan kebahagiaan”.
Selanjutnya Betham mengemukakan agar pembentuk hukum harus membentuk hukum
yang adil bagi segenap warga masyarakat secara individual.
Rudolph von Jhering;
Ia dikenal dengan ajarannya yang biasa disebut social utilitarianism.
Hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Hukum
adalah sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai
dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya.
Hukum merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan
perubahan-perubahan sosial.
V. MAZHAB SOCIOLOGICAL
JURISPRUDENCE
Tokoh mazhab ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound
Eugen Ehrlich;
Penulis yang pertama kali menyandang judul sosiologi hukum (Grundlegung der
Soziologie des Recht, 1912).
Menurut Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada
perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri.
Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup,
atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dgn kaidah-kaidah
sosial lainnya.
Hukum positif hanya akan efektif
apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Roscoe Pound;
Hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas ilmu hukum untuk
mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapr
terpenuhi secara maksimal.
Pound juga menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law
in action), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis(law in the books).
Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum
substantif, maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah
hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan.
VI. MAZHAB REALISME HUKUM
Tokoh yang terkenal dalamaliran ini adalah hakim agung Oliver Wendell
Holmes, Jerome Frank dan Karl Llewellyn.
Kaum realis tersebut mendasarkan pemikirannya pada suatu konsepsi radikal mengenai proses peradilan. Menurut
mereka hakim itu lebih layak disebut sebagai pembuat hukum daripada
menemukannya. Hakim harus selalu melakukan pilian, asas mana yang akan
diutamakan dan pihak mana yang akan dimenangkan.
Aliran realis selalu menekankan pada hakikat manusiawi dari tindakan
tersebut.
Holmes mengatakan bahwa kewajiban hukum hanyalah merupakan suat dugaan
bahwa apabila seseorang berbuat atau tidak berbuat, maka dia akan menderita
sesuai dengan keputusan suatu pengadilan. Lebih jauh Karl Llewellyn menekankan
pada fungsi lembaga-lembaga hukum.
Pokok-pokok pendekatan kaum realis antara lain; hukum adalah alat untuk
mencapai tujuan-tujuan sosial dan hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung
hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptkan oleh pengadilan.
MN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar