KAJIAN HAN TENTANG KELEMBAGAAN
PENGEMBANGAN HUKUM
Pengembangan hukum
merupakan suatu sistem yang pada dasarnya meliputi keseluruhan pranata
kelembagaan dan proses perumusan kebijakan publik dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, mulai dari tahapan pengagendaan sampai dengan tahapan
legalisasi. Oleh sebab itu, pengembangan hukum mempunyai fungsi vital dalam
rangka menyelaraskan perkembangan masyarakat dengan substansi normatif dari
peraturan tersebut.
Fungsi pengembangan
hukum tersebut seyogyanya dilakukan oleh suatu badan atau lembaga bentukan
Negara yang mempunyai fungsi khusus untuk melakukan perbaikan terhadap regulasi
yang sudah ada, atau dapat juga lembaga negara membentuk peraturan baru dalam
rangka mewadahi kepentingan publik yang dirasakan perlu atau belum diakomodasi
oleh peraturan hukum yang telah ada.
Fakta yang terjadi di
Indonesia, fungsi pengembangan hukum tersebut dilakukan oleh berbagai lembaga
yang terpisah dan tidak bersifat integral serta bertanggungjawab secara
tersendiri. Beberapa badan yang menjalankan fungsi pengembangan hukum saat ini
adalah Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan Komisi Hukum Nasional (KHN)
yang bertanggungjawab kepada Presiden, serta Badan Legislasi Nasional bentukan
DPR yang secara struktural berada dan bertanggungjawab kepada DPR. Kondisi ini
dapat berimplikasi positif maupun negatif. Berimplikasi positif, apabila
masing-masing lembaga pengembangan hukum tersebut, satu sama lain melakukan
kemitraan dalam rangka meningkatkan kinerja hukum di Indonesia. Sebaliknya akan
berimplikasi negatif, apabila misi masing-masing lembaga pengembangan hukum
tersebut ditunggangi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu. Hal ini tentunya
akan menyebabkan terbukanya kemungkinan terjadi overlaping atau pun
perbedaan penyikapan dalam hal pengembangan hukum, sebagai akibat terjadinya
perbedaan persepsi dan kepentingan yang melatarbelakangi.
Maksud kegiatan ini adalah untuk mengembangkan suatu tatanan kelembagaan
pengembangan hukum yang lebih komprehensif dalam rangka mendukung upaya-upaya
pengembangan hukum. Tujuan dilakukannya kajian ini secara lebih spesifik adalah
mengidentifikasi berbagai kelembagaan pengembangan hukum yang ada di Indonesia
saat ini, dan merumuskan suatu alternatif tatanan kelembagaan pengembangan
hukum agar dapat mendukung upaya-upaya pengembangan hukum di Indonesia.
Dari pembahasan dan analisa terhadap kelembagaan pengembangan hukum yang
sekarang ada dan fungsi-fungsi pengembangan hukum yang dilakukannya, maka
selanjutkan dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa
§ Lembaga-lembaga pengembangan hukum yang
ada pada eksekutif dan legislatif di Indonesia saat ini relatif telah melaksanakan
fungsi-fungsi pengembangan hukum secara ideal. Hal tersebut dilaksanakan pada
lembaga eksekutif tingkat Pusat (oleh Depkeh HAM dan Sekretariat Negara, BPHN,
KHN, Bappenas dan departemen/LPND lain yang terkait dengan substansi hukum yang
sedang dikembangkan) dan Daerah (oleh Biro Hukum Sekretariat Daerah dan Dinas
lain yang terkait dengan substansi hukum yang sedang dikembangkan).
Sedangkan pada lembaga
legislatif tingkat Pusat (oleh Badan Legislasi DPR dan Komisi DPR yang terkait
dengan substansi hukum yang sedang dikembangkan) dan pada tingkat legislatif
daerah (oleh Panitia Legislasi DPRD).
§ Dari 10 (sepuluh) fungsi pengembangan
hukum, hanya 7 fungsi yang secara jelas telah dilaksanakan oleh lembaga
pengembangan hukum yang ada, baik dari lembaga eksekutif maupun legislatif
pusat dan daerah, yaitu fungsi-fungsi Agenda Legislasi; Inisiatif Pengajuan
Rancangan Peraturan Perundang-undangan; Penyusunan Naskah Akademik (Academic
Paper); Persetujuan dan Tindak Lanjut Penyusunan Peraturan Baru; Penyusunan
Naskah Perundang-undangan (Legal Drafting); Legalisasi Peraturan; dan
Kodifikasi Peraturan secara Periodik.
Sedangkan untuk 3 fungsi
pengembangan hukum lainnya, yaitu Konsultasi dan Partisipasi Publik; Membangun
Sistem review atas Peraturan yang Ada; serta Membangun Sistem Analisa
Peraturan; belum jelas lembaga pengembangan hukum pada eksekutif dan legislatif
yang melaksanakannya.
Dari beberapa kesimpulan yang dikemukakan diatas, maka untuk mendukung
upaya-upaya peningkatan kapasitas pengembangan hukum yang lebih komprehensif,
khususnya pada lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif di Indonesia, maka
berikut disampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut.
§ Dalam jangka pendek, perlu segera diisi
kekosongan untuk lembaga yang melaksanakan fungsi pengembangan hukum yang
selama ini belum jelas pelaksananya, yaitu fungsi Konsultasi dan Partisipasi
Publik; Membangun Sistem review atas Peraturan yang Ada; serta Membangun
Sistem Analisa Peraturan, dan pelaksana ketiga fungsi tersebut dapat dipilih
antara Depkeh HAM, BPHN atau KHN.
- Dalam jangka yang lebih panjang, dengan memahami tugas dan kewenangan serta fungsi masing-masing kelembagaan pengembangan hukum di Indonesia saat ini, maka untuk pengembangan ke depan serta terbangunnya satu sistem kelembagaan yang efektif, maka dapat direkomendasikan hanya satu kelembagaan pengembangan hukum, yang dapat menjadi semacam Law Reform Commission atau Lembaga Pengembangan Hukum Nasional (LPHN) yang dibentuk dengan peraturan pemerintah.
KAJIAN TENTANG PENGGUNAAN WAKTU PEJABAT
PIMPINAN DAERAH DALAM RANGKA KEGIATAN PROTOKOLER
Executive Summary
Dalam mengelola
pemerintahan daerah, pejabat pimpinan daerah harus mengakomodasikan kedudukan
dan fungsi pemerintah daerah dalam bidang politik, administrasi dan
kemasyarakatan. Proses pengakomodasian tersebut termanifestasikan dalam bentuk
peran dan aktivitas yang dijalankan oleh para pejabat pimpinan daerah dalam
kesehariannya.
Masing-masing peran dan
aktivitas yang dijalankan para pejabat pimpinan daerah tersebut berpengaruh
pada efektivitas pemanfaatan waktu yang dimilikinya. Oleh sebab itu maka
tingkat profesionalisme para pejabat pimpinan daerah dapat diukur dari kemampuannya
dalam pemilihan aktivitas yang dilakukan dalam penggunaan waktu yang dimiliki
khususnya dalam kegiatan protokoler.
Setelah dilakukan
pengkajian mengenai penggunaan waktu pejabat pimpinan daerah dalam kegiatan
protokoler di Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa
Timur dan Provinsi DKI Jakarta maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Pertama, Permasalahan yang dihadapi dalam
penggunaan waktu pejabat pimpinan daerah baik di tingkat provinsi maupun di
tingkat kabupaten/kota secara umum menyangkut: (a) penentuan tingkat urgensi
kegiatan, (b) penentuan skala prioritas, (c) tuntutan kehadiran pejabat secara
lagnsung dan (d) adanya acara yang mendadak dari pejabat yang lebih tinggi.
Solusi yang biasa ditempuh dalam mengatasi permasalahan mengenai penggunaan
waktu pejabat pimpinan daerah tersebut adalah: (a) pengalokasian waktu yang
seefisien dan seefektif mungkin, (b) memberikan pemahaman bahwa pejabat
pimpinan daerah memiliki keterbatasan waktu, (c) mengalihkan kegiatan (acara)
di luar jam kerja pada sore dan malam hari.
Kedua, Kegiatan protokoler pejabat daerah yang
berada pada tingkat urgensi yang tinggi (penting) sebesar 12% s.d. 56% dan
kurang tinggi sebesar 44% s.d. 85%. Kegiatan seremonial pejabat daerah yang
memiliki tingkat urgensi yang tinggi (penting) sebesar 50% s.d. 88% dan
kurang tinggi (kurang penting) sebesar 22% s.d. 50%. Kegiatan protokoler
pejabat daerah tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang memiliki prioritas
utama (segera) sebesar 5% s.d. 56% dan kurang tinggi (biasa) sebesar 44% sampai
dengan 95%. Kegiatan seremonial pejabat daerah tingkat provinsi, kabupaten dan
kota yang memiliki prioritas utama (segera) sebesar 75% s.d. 77% dan kurang tinggi
(biasa) sebesar 22% s.d. 25%. Alokasi waktu pejabat pimpinan daerah dalam
kegiatan protokoler dan seremonial rata-rata sebanyak 1 hari kerja dan
sedikit-dikitnya 30 menit.
Ketiga, Berdasarkan data di lapangan diketahui
bahwa kegiatan berinteraksi dengan pengusaha pejabat tingkat provinsi,
kabupaten dan kota berkisar 4% s.d. 7% dan kegiatan berinteraksi dengan rakyat
(kegiatan kemasyarakatan) berkisar antara 45% s.d. 61%. Alokasi waktu yang
diberikan untuk kegiatan berinteraksi dengan pengusaha dan rakyat dari pejabat
pimpinan daerah rata-rata sebanyak 1-3 jam per kegiatan.
Keempat, Terdapat perbedaan mekanisme pengaturan
kegiatan protokoler pejabat pimpinan daerah di Tingkat Provinsi dan
Tingkat Kabupaten/Kota. Di tingkat provinsi dikenal sekretaris pribadi
dan BIKK (Badan Informasi Keprotokolan dan Kehumasan) sedangkan di tingkat
kabupaten kota hanya dikenal unit protokoler kabupaten/kota.
Dari temuan pengkajian
dapat dirumuskan rekomendasi sebagai berikut: (1) Perlu adanya suatu rumusan
mengenai kriteria tingkat urgensi, skala prioritas dan pengalokasian
waktu kegiatan protokoler dan seremonial pejabat daerah tingkat provinsi,
kabupaten dan kota yang diharapkan dapat menjadi pedoman dalam menilai kegiatan
protokoler pejabat daerah sehingga akan diperoleh suatu persepsi dan
perlakuan yang sama terhadap kegiatan yang sama; (2) Perlu adanya pemahaman
yang sama antara pejabat daerah mengenai pentingnya pemberian perlakuan dan
kesempatan yang sama terhadap dunia usaha dalam proses penciptaan good governance
di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah mengingat masih kurangnya
perhatian pejabat daerah terhadap aktivitas dunia usaha dibandingkan dengan
perhatian terhadap aktivitas kemasyarakatan, dan; (3) Perlu dilakukan studi
lebih lanjut mengenai efektivitas dan efisiensi penggunaan waktu pejabat
dalam kegiatan protokoler dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan
daerah guna mewujudkan good local governance.
KAJIAN TENTANG PERATURAN HUKUM DI BIDANG
KEPENDUDUKAN
Executive Summary
Kependudukan sebagai
bidang keilmuan yang menelaah dan menjadikan penduduk (warga negara) selaku
obyek pengaturannya, menjadi faktor pertimbangan utama menggapai tujuan akhir
pembangunan, yaitu terciptanya penduduk yang berkualitas baik secara individu maupun
sosial dalam kehidupan bernegara. Salah satu prinsip dasar dan syarat mutlak
terbentuknya negara hukum (rechtstaat) adalah adanya penghormatan
terhadap hak-hak asasi warga negara dan perlindungan kepentingan masyarakat.
Hal ini bertujuan untuk membatasi kekuasaan negara yang berlebihan dalam
pengaturan kehidupan bermasyarakat. Selain itu perlindungan dan penghormatan
terhadap hak-hak sipil dalam konteks civil society menjadi sangat vital
keberadaannya sebagai upaya menghindari kejahatan kemanusiaan (human crime)
yang dapat saja dilakukan oleh negara. Permasalahan mendasar perumusan
peraturan hukum di bidang kependudukan selama ini adalah adanya kecenderungan
mekanisme top down dan sentralistik dalam pembentukan peraturan hukum
yang cenderung mengeliminasi partisipasi publik. Bahkan selama ini masyarakat
belum berperan optimal sebagai subyek dalam rangka penyusunan peraturan hukum
di Indonesia.
Kebijakan kependudukan
merupakan salah satu aspek yang mampu memberikan kontribusi terhadap usaha
peningkatan kualitas penduduk. Hal ini diartikan bahwa kebijakan kependudukan
ditujukan untuk menjamin keberlangsungan hidup seluruh manusia yang tidak hanya
berdimensi lokal atau nasional, tapi juga internasional. Melihat berbagai
persoalan pembangunan yang terus melilit bangsa ini, kiranya sudah saatnya
pembangunan di Indonesia lebih diorientasikan pada konsep pembangunan
berwawasan kependudukan. Artinya, proses pembangunan tidak hanya menjadikan
penduduk sebagai obyek melainkan juga sebagai subyek.
Undang-undang kependudukan
yang berlaku saat ini adalah Undang - Undang No. 10 tahun 1992 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Undang-undang ini
lahir sebelum ICPD dilaksanakan dan perubahan sistem pemerintahan sentralisasi
menjadi desentralisasi. Dengan demikian substansi UU No 10/1992 jelas tidak
sesuai dengan substansi ICPD di Cairo tahun 1994 dan menjadi kurang relevan
dengan pelaksanaan otonomi daerah yang telah dimulai secara resmi pada tanggal
1 Januari 2001.
Meskipun UU No 10/ 1992
telah mengemukakan beberapa hak penduduk yang dikaitkan matra penduduk, namun
persoalan penduduk saat ini di Indonesia sangat dinamis dan sebahagian tidak
terbayangkan pada saat undang-undang tersebut dirumuskan. Berkaitan dengan
perkembangan kependudukan saat ini, perangkat hukum yang mengatur hak-hak
penduduk yang berstatus pengungsi akibat konflik dan bencana alam belum
tertampung dalam produk hukum yang berlaku sekarang.
Persoalan yang mendasar
adalah konsep kualitas penduduk yang dikemukakan dalam program aksi ICPD
berbeda dengan konsep kualitas penduduk yang terdapat dalam Undang-undang No 10
Tahun 1992. Oleh sebab itu konsep peningkatan kualitas penduduk dalam produk
hukum bidang kependudukan perlu disesuaikan dengan konsep kualitas penduduk
yang melingkupi pembangunan dalam bidang kesehatan, pendidikan, jender,
pengentasan kemiskinan, keluarga berencana, penanganan lansia dan remaja dan
memberantas penyakit menular.
Undang-undang No 10
Tahun 1992 juga belum mengatur masalah jender, penanganan penduduk lanjut usia
(lansia), manula, kesehatan dan keselamatan ibu, perlindungan penyakit menular
(HIV-AIDS), standar kesehatan dan pelayanan penduduk dan lain-lainnya. Jika
aspek-aspek yang dikemukakan ini dianggap hak penduduk sebagai individu dan
sebagai anggota masyarakat, maka peraturan hukum bidang penduduk perlu
disempurnakan dengan memasukkan aspek jender, penanganan penduduk lansia,
kesehatan reproduksi remaja dan manula, standar kesehatan dan pelayanan
penduduk dan lain-lainnya.
Dari sekian aspek
kependudukan yang dikemukakan, hak-hak pelayanan publik penduduk lansia perlu
mendapat perhatian. Peningkatan usia harapan penduduk Indonesia dan perbaikan
pelayanan kesehatan, struktur penduduk akan mengalami perubahan. Proporsi dan
jumlah penduduk akan mengalami peningkatan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar