Powered By Blogger

Jumat, 01 Juni 2012

MAKALAH ETIKA PROFESI HUKUM

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan Rahmat dan Hidayahnya. Shalawat dan salam tak lupa pula kita kirimkan kepada junjungan Nabiyullah Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita jalan kebnaran lewat ajaran yang telah dibawahnya. Kami selaku yang ditugaskan untuk menyusun makalah ini sangat bersyukur kepada Allah SWT. kerana berkat bimbingannyalah sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan lancar dan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Kami berharap semoga makala ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan keilmuan bagi siapapun yang membacanya, utamanya para Mahasiswa yang sedang bergelut pada bidang Ilmu Hukum. Demikianlah makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah “Etika Profesi Hukum” yang akan didiskusikan dalam seminar kelas Hukum angkatan 2007-2008. Kami selaku penyusun makalah ini memohon saran dan kritik yang membangun kepada para pembaca, utamanya Dosen terkait dengan materi makalah ini untuk penyempurnaan penyusunan makalah berikutnya.


Makassar, 24 Mei 2011

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………… i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Batas Kewenangan Notaris ………………………………………. 3
1. Notaris sebagai Pejabat yang Membuat Akta Notaris ………... 3
2. Kedudukan Kode Etik dalam Menjalankan Notaris …………… 9
B. Batas Kewenagan Advokat ………………………………………. 12
1. Kewenagan Advokat ………………………………………………… 12
2. Kewengan Advokat dari segi Kekuasaan Yudisial ……………… 13
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………... 15
B. Saran ………………………………………………………………. 15
DAFTAR PUSTAKA
PROFESI DAN BATAS KEWENANGAN PROFESI HUKUM

MAKALAH
Matakuliah Pengantar Hukum Internasional
Semester (VI) Genap
Oleh
FAJAR AL WAJADU, IBNU KHAIR, SRIWAHYUDI
Dosen
Adriana Mustafa, S.Ag, SH

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH AZHAR CENTER MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2010/2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat manusia sehingga di dalam masyarakat selalu ada sistem hukum, ada masyarakat ada norma hukum (ubi societas ibi ius). Hal tersebut dimaksudkan oleh Cicero bahwa tata hukum harus mengacu pada penghormatan dan perlindungan bagi keluhuran martabat manusia. Hukum berupaya menjaga dan mengatur keseimbangan antara kepentingan atau hasrat individu yang egoistis dan kepentingan bersama agar tidak terjadi konflik. Kehadiran hukum justru mau menegakkan keseimbangan perlakuan antara hak perorangan dan hak bersama. Oleh karena itu, secara hakiki hukum haruslah pasti dan adil sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Hal tersebut menunjukkan pada hakikatnya para penegak hukum (hakim, jaksa, Notaris, Advokat, dan polisi) adalah pembela kebenaran dan keadilan sehingga para penegak hukum harus menjalankan dengan itikad baik dan ikhlas, sehingga profesi hukum merupakan profesi terhormat dan luhur (officium nobile). Oleh karena mulia dan terhormat, profesional hukum sudah semestinya merasakan profesi ini sebagai pilihan dan sekaligus panggilan hidupnya untuk melayani sesama di bidang hukum. Akan tetapi, ironisnya para profesi hukum kurang memiliki kesadaran dan kepedulian sosial. Hal ini dapat dilihat para pakar hukum menjadi orang-orang sewaan yang dibayar mahal oleh kliennya, pelayanan hanya diberikan kepada orang-orang yang berdiut saja.

B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas kita dapat merumuskan beberapa pokok masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Samapi dimana batas kewenangan Notaris?
2. Sampai dimana batas kewenangan Advokat

BAB II
PEMBAHASAN

A. Batas Kewengan Notaris
1. Notaris Sebagai Pejabat Yang Membuat Akta Notaris Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan sebagai alat bukti yang kuat. Seorang ahli yang tidak memihak dan penyuluhan hukum yang tidak ada cacatnya (onreukbaar/unimpeachable), yang tutup mulut dalam membuat suatu perjanjian yang dapat melindungi di hari-hari mendatang. Hal ini berbeda dengan peran dari seorang advokat, dimana profesi advokat lebih menekankan pada pembelaan hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, sedangkan profesi Notaris harus berperan untuk mencegah sedini mungkin kesulitan yang terjadi dimasa akan datang. Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) menyatakan bahwa yang disebut sebagai Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai suatu perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Notaris wajib untuk merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari akta-akta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan. Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Maka jelas sudah bahwa salah satu tugas dan tanggung jawab Notaris adalah membuat akta otentik, baik yang ditentukan peraturan perundang-undangan maupun oleh keinginan orang tertentu dan badan hukum yang memerlukannya. Profesi Notaris adalah profesi semi publik. Jabatan Notaris adalah jabatan publik namun lingkup kerja mereka berada dalam konstruksi hukum privat. Sama seperti advokat, Notaris adalah penyedia jasa hukum yang bekerja untuk kepentingan klien. Dalam konteks ini, hierarki birokratis tidak mendukung pekerjaan-pekerjaan mereka. Profesi ini memang diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun aturan hukum positif ini juga merupakan profesi terbuka, dalam arti setiap orang bisa bertahan, atau keluar dari profesi tersebut setiap saat. Meskipun bukan profesi yang high grid, profesi Notaris adalah jenis profesi yang high group. Kecenderungan tersebut tampak lebih jelas dari keberadaan peraturan perundang-undang yang makin memeberi peran pada asosiasi-asosiasi profesi. Peran Notaris tidak sekedar pada pembinaan anggota profesi, melainkan juga sampai pada penetapan standar kualifikasi profesi dan pemberian rekomendasi izin atau larangan praktik. Menurut Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum. Notaris merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai karakteristik:
1. Sebagai jabatan, artinya UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan jabatan Notaris, sehingga UUJN merupakan satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur jabatan Notaris di Indonesia.
2. Notaris mempunyai kewenangan tertentu, artinya setiap wewenang yang diberikan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Wewenang tersebut mencakup dalam pasal 15 ayat (1) UUJN yang menyebutkan antara lain membuat akta bukan membuat surat, seperti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atau membuat surat lain, seperti Surat Keterangan Waris (SKW).
3. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, artinya Notaris dalam melakukan tugasnya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Hukum dan HAM. Walaupun Notaris secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinatif (bawahan) dari pemerintah. Akan tetapi, Notaris dalam menjalankan tugasnya harus bersifat mandiri (autonomous), tidak memihak siapapun (impartial), tidak tergantung kepada siapapun (independent).
4. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya
5. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat.
Dalam membuat akta, Notaris membuat dengan bagian-bagian yang telah ditentukan dalam UUJN, antara lain:
1. Awal akta atau kepala akta memuat :
a. judul akta;
b. nomor akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
2. Badan akta memuat:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan
d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
3. Akhir atau penutup akta memuat:
a. uraian tentang pembacaan akta;
b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;
c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.
Dikemukakan pula oleh Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur ensensial agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum
3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.
Terkait dengan hal diatas, akta otentik yang dibuat oleh Notaris memiliki kekuatan alat bukti terkuat dan penuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Dengan perkataan lain, akta otentik yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat sepanjang tidak dibantah kebenarannya oleh siapa pun, kecuali bantahan terhadap akta tersebut dapat dibuktikan sebaliknya. Dalam artian bahwa akta yang dibuat oleh Notaris terseut mengalami kebohongan atau cacat, sehingga akta tersebut dapat dinyatakan oleh hakim sebgai akta yang cacat secara hukum begitu pentingnya keterangan yang termuat dalam akta tersebut sehingga penulisannya harus jelas dan tegas. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 42 UUJN dinyatakan bahwa akta Notaris dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-putus dan tidak menggunakan singkatan. Oleh karena itu, ruang dan sela kosong dalam akta digaris dengan jelas sebelum akta ditandatangani, kecuali untuk akta yang dicetak dalam bentuk formulir berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam akta, seperti penyebutan tanggal, bulan, dan tahun dinyatakan dengan huruf dan harus didahului dengan angka. Dalam kaitannya dengan ketentuan dalam Pasal 42 UUJN diatas, akta Notaris sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, apabila dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi. Namun demikian, akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang undang-undang menentukan lain. Demikian juga, dalam hal akta dibuat bukan dalam bahasa Indonesia, maka Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Sehubungan dengan ketentuan dalam Pasal 43 UUJN diatas, setelah Notaris selesai membacakan isi akta yang dibuatnya, maka akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya. Alasan tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam akta. Kemudian akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) UUJN ditandatangani oleh penghadap, Notaris, saksi dan penerjemah resmi. Dengan demikian, maka pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan dinyatakan secara tegas pada akhir akta. Sementara itu, dalam Pasal 45 UUJN dinyatakan bahwa dalam hal penghadap mempunyai kepentingan hanya pada bagian tertentu dari akta, hanya bagian akta tertentu tersebut yang dibacakan atau dijelaskan, penghadap membubuhkan tanda paraf dan tanda tangan pada bagian tersebut. Notaris dalam membuat akta otentik berusaha semaksimal mungkin untuk membuat akta tidak mengalami cacat atau kesalahan. Namun demikian, sebagai manusia pasti akan terjadi kesalahan dalam akta tersebut. Menurut Supriadi apabila Notaris melakukan kesalahan ini merupakan hal yang manusiawi. Selain itu, kalau terjadi penambahan atau pencoretan terhadap akta tersebut, maka akan mengalami masalah. Oleh karena itu, dalam Pasal 48 UUJN dinyatakan bahwa isi akta tidak boleh diubah atau ditambah, baik berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan orang lain. Perubahan atas akta berupa penambahan, penggatian, atau pencoretan dalam akta hanya sah apabila perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap saksi, dan Notaris. Dalam kaitannya, maka dalam Pasal 49 UUJN dinyatakan bahwa setiap perubahan atas akta dibuat di sisi kiri atas. Apabila suatu perubahan dibuat pada akhir kata, sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembah tambahan. Oleh karena itu, perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan tersebut batal. Dalam kaitannya dengan pecoretan terhadap akta Notaris tersebut, maka dalam Pasal 50 UUJN diatur bahwa apabila dalam akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut dilakukan demikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta. Pencoretan dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Oleh karena itu, apabila terjadi perubahan lain terhadap perubahan, maka perubahan itu dilakukan pada sisi akta sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 49 UUJN. Dengan demikian, pada penutup setiap akta dinyatakan jumlah perubahan, pencoretan, dan penambahan. Di samping itu, dalam Pasal 51 UUJN diatur mengenai kewenangan Notaris membetulkan kesalahan tulis pada suatu akta. Adapun bunyi ketentuan dalam Pasal 51 UUJN dinyatakan bahwa Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani. Oleh karena itu, pembetulan dapat dilakukan dengan membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor akta berita acara pembetulan. Setidaknya dalam melaksanakan tugasnya Notaris memiliki asas dasar yang dipegang dalam menilai suatu akta yaitu asas praduga sah atau lebih dikenal dengan nama presumptio iustae causa, artinya akta yang dibuat oleh Notaris harus dianggap berlaku secara sah sampai ada phak yang menyatakan akta tersebut tidak sah. Selain itu, Notaris dalam membuat akta tidak menyelidiki kebenaran surat-surat yang diajukan oleh pihak yang membuat akta. Hal ini dimaksudkan bahwa Notaris sebagai pelayan masyarakat dapat bertindak dengan cepat dan tepat, serta yang menyatakan sah ataunya tidaknya suatu surat apabila terjadi pemalsuan bukan kewenangan Notaris, sehingga Notaris hanya memeriksa kelengkapan adminsitratif untuk membuat suatu akta.
2. Kedudukan Kode Etik dalam Menjalankan Profesi Notaris Kedudukan kode etik bagi Notaris sangatlah penting, bukan hanya karena Notaris merupakan suatu profesi sehingga perlu diatur dengan suatu kode etik, melainkan juga karena sifat dan hakikat dari pekerjaan Notaris yang sangat berorientasi pada legalisasi, sehingga dapat menjadi fundamen hukum utama tentang status harta benda, hak, dan kewajiban seorang klien yang menggunakan jasa Notaris tersebut. Oleh karena itu, agar tidak terjadi ketidakadilan sebagai akibat dari pemberian status harta benda, hak, dan kewajiban yang tidak sesuai dengan kaidah dan prinsip-prinsip hukum dan keadilan, sehingga dapat mengacaukan ketertiban umum dan juga mengacaukan hak-hak pribadi dari masyarakat pencari keadilan, maka bagi dunia Notaris sangat diperlukan juga suatu kode etik profesi yang baik dan modern. Menurut Ismail Saleh, Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1. Mempunyai integritas moral yang mantap;
2. Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual);
3. Sadar akan batas-batas kewenangannya;
4. Tidak semata-mata berdasarkan uang.
Lebih jauh Ismail Saleh mengatakan bahwa 4 (empat) pokok yang harus diperhatikan para Notaris adalah sebagai berikut:
1. Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang Notaris harus mempunyai integritas moral yang mantap. Dalam hal ini, segala pertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan tugas profesinya. Walaupun akan memperoleh imbalan jasa yang tinggi, namun sesuatu yang bertentangan dengan moral yang baik harus dihindarkan.
2. Seorang Notaris harus jujur, tidak hanya pada kliennya, juga pada dirinya sendiri. Ia harus mengetahui akan batas-batas kemampuannya, tidak memberi janji-janji sekedar untuk menyenangkan kliennya, atau agar klien tetap mau memakai jasanya. Kesemuanya itu merupakan suatu ukuran tersendiri tentang kejujuran intelektualitas seorang Notaris.
3. Seorang Notaris harus menyadari akan batas-batas kewenangannya. Ia harus menaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang seberapa jauh ia dapat bertindak dan apa yang boleh serta apa yang tidak boleh dilakukan. Apabila ketentuan yang dilarang telah dilanggar maka akta yang bersangkutan akan kehilangan daya otentiknya.
4. Sekalipun keahlian seseorang dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugas profesnya ia tidak semata-mata didorong oleh pertimbangan uang. Seorang Notaris yang berpegang pada Pancasila harus memiliki rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh oleh jumlah uang, dan tidak semata-mata hanya menciptakan alat bukti formal mengejar adanya kepastian hukum, tetapi mengabaikan rasa keadilan.
Dari pendapat diatas, benarlah apa yang dikatakan oleh Paul F. Camenisch bahwa profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Kode etik ini akan membentuk suatu kepercayaan dalam masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin dan tidak akan dipermainkan oleh profesi tersebut. Kode etik juga penting sebagai sarana kontrol sosial. Kode etik memberikan kriteria bagi para calon anggota kelompok profesi dan membantu mempertahankan pandangan para anggota lama terhadap prinsip profesional yang telah digariskan. Selain itu, kode etik profesi penting untuk mencegah pengawasan ataupun campur tangan yang dilakukan pemerintah atau oleh masyarakat. Lebih lanjut kode etik juga memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan patokan kehendak yang lebih tinggi untuk sedapat mungkin mencegah kesalahpahaman dan konflik.
B. Batas Kewenangan Advokat
1. Kewenangan Advokat Di sisi lain aparat penegak hukum hakim, jaksa, polisi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum diberikan kewenangan tetapi Advokat dalam menjalankan profesinya tidak diberikan kewenangan. Melihat kenyataan tersebut maka diperlukan pemberian kewenangan kepada advokat. Kewenangan tersebut diperlukan selain untuk menciptakan kesejajaran diantara aparat penegak hukum juga untuk menghindari adanya multi tafsir diantara aparat penegak hukum yang lain dan kalangan advokat itu sendiri terkait dengan kewenangan.Sementara UU No. 18/2003 tentang Advokat tidak mengatur tentang kewenangan Advokat di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai aparat penegak hukum. Dengan demikian maka terjadi kekosongan norma hukum terkait dengan kewenangan Advokat tersebut. Perlu diketahui bahwa profesi advokat adalah merupakan organ negara yang menjalankan fungsi negara. Dengan demikian maka profesi Advokat sama dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman sebagai organ negara yang menjalankan fungsi negara. Bedanya adalah kalau Advokat adalah lembaga privat yang berfungisi publik sedangkan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman adalah lembaga publik. Jika Advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya diberikan kewenangan dalam statusnya sebagai aparat penegak hukum maka kedudukannya sejajar dengan aparat penegak hukum yang lain. Dengan kesejajaran tersebut akan tercipta keseimbangan dalam rangka menciptakan sistem penegakan hukum yang lebih baik.
Advokat adalah merupakan profesi yang terhormat (officium nobille), selain sebagai profesi terhormat Advokat juga sebagai aparat penegak hukum dimana kedudukannya sejajar dengan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa, polisi, dan hakim dalam menjunjung tinggi supremasi hukum. Oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai dan saling mengoreksi antara teman sejawat dan juga antara penegak hukum lainnya. Profesi advokat diperlukan dalam hubungannya dengan proses penegakan hukum, termasuk ikut andil dalam menjamin hak seseorang yang perlu diperhatikan dan agar tidak diabaikan atau menegakkan asas hukum praduga tak bersalah (Presumption of Innocence)”. Sehingga seseorang yang dituntut pidana, digugat secara perdata dan digugat di peradilan tata usaha negara berhak dan dapat didampingi Advokat agar kepentingannya dapat dibela secara yuridis dengan memperhatikan hak-hak asasinya.

2. Kewenagan Advokat dari Segi Kekuasaan Yudisial Advokat dalam sistem kekuasaan yudisial ditempatkan untuk menjaga dan mewakili masyarakat. Sedangkan hakim, jaksa, dan polisi ditempatkan untuk mewakili kepentingan negara. Pada posisi seperti ini kedudukan, fungsi dan peran advokat sangat penting, terutama di dalam menjaga keseimbangan diantara kepentingan negara dan masyarakat. Ada dua fungsi Advokat terhadap keadilan yang perlu mendapat perhatian. Yaitu pertama kepentingan, mewakili klien untuk menegakkan keadilan, dan peran advokat penting bagi klien yang diwakilinya. Kedua, membantu klien, seseorang Advokat mempertahankan legitimasi sistem peradilan dan fungsi Advokat. Selain kedua fungsi Advokat tersebut yang tidak kalah pentingnya, yaitu bagaimana Advokat dapat memberikan pencerahan di bidang hukum di masyarakat. Pencerahan tersebut bisa dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan hukum, sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan, konsultasi hukum kepada masyarakat baik melalui media cetak, elektronik maupun secara langsung. Secara sosiologis keberadaan Advokat di tengah-tengah masyarakat seperti buah simalakama. Fakta yang tidak terbantahkan bahwa keberadaan Advokat sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang tersandung perkara hukum, tetapi ada juga sebagian masyarakat menilai bahwa keberadaan Advokat dalam sistem penegakan hukum tidak diperlukan. Penilaian negatif ini tidak terlepas dari sepak terjang dari Advokat sendiri yang kadangkala dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum tidak sesuai dengan harapan. Untuk menunjang eksistensi Advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegakan hukum, maka diperlukan kewenangan yang harus diberikan kepada Advokat. Kewenangan Advokat tersebut diperlukan dalam rangka menghindari tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang lain (Hakim, Jaksa, Polisi) dan juga dapat memberikan batasan kewenangan yang jelas terhadap advokat dalam menjalankan profesinya. Dalam praktik seringkali keberadaan Advokat dalam menjalankan profesinya seringkali dinigasikan (diabaikan) oleh aparat penegak hukum. Hal ini dikarenakan kedudukan advokat “tidak sejajar” dengan aparat penegak hukum yang lain.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Notaris dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bertanggung jawab penuh terhadap perbuatan-perbuatan hukum yang akan timbul dikemudian hari dan bahkan tanggung jawab moril sebagai profesional, kalau merugikan pihak lain, Notaris harus dapat mempertangg0ung jawabkan pekerjaannya di muka hukum secara perdata dan pidana.
2. Untuk menunjang eksistensi Advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegakan hukum, maka diperlukan kewenangan yang harus diberikan kepada Advokat. Kewenangan Advokat tersebut diperlukan dalam rangka menghindari tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang lain (Hakim, Jaksa, Polisi) dan juga dapat memberikan batasan kewenangan yang jelas terhadap advokat dalam menjalankan profesinya.
B. Saran Berdasarkan pembahasan yang telah kami sampaikan, penulis memberikan saran dan rekomendasi, agar:
1. Memberikan pelatihan terhadap Notaris secara berkala agar tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang fatal dalam pembuatan akta-akta.
2. Meberikan batasan yang tegas bagi jumlah Notaris berada di suatu wilayah, agar teratur.
3. Memberikan sanksi yang tegas kepada para Advokat yang melanggar aturan hukum dalam menjalankan profesinya.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.surabayapagi.com/index.php?
http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/06/tanggung-jawab-profesi-notaris-dalam.htm
Indonesia, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, UU Nomor 30 Tahun 2004, LN Nomor 117 Tahun 2004, TLN Nomor 4432.
Fuady, Munir. S.H., M.H., LL.M., Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator, dan Pengurus : Profesi Mulia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005).
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 145, lihat juga Notohamidjoyo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975).

Kansil, C.S.T. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003).

Kanter, E. Y. Etika Profesi Hukum Sebuah Pendekatan Sosio – Religius, (Jakarta: Storia Grafika, 2001).
Kie, Tan Thong. Buku I Studi Notariat – Beberapa Mata Pelajaran dan Serba Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Ichiar Baru Van Hoeve, 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar